Selagi Masih Siang merupakan catatan perjalanan dari Pdt. Dr. Soritua Albert Ernst Nababan, LLD. Judul buku ini, yang menukil Injil Yohanes, mengisyaratkan dua hal bagi gereja dan masyarakat di Indonesia, yaitu sebagai harapan dan kesempatan untuk terus giat berkarya, sekaligus ada lecutan untuk segera berbenah.
Lewat buku ini, SAE ingin berdialog dengan kritis terkait pengalaman dan pemahaman yang dikembangkannya selama ini.
Buku setebal 456 ini terdiri dari 10 bab. Dimulai mengulas secara kronologis perjalanan SAE dari masa kecilnya di Tarutung dan Siborongborong, studi yang ditempuhnya di Jakarta hingga di Jerman, serta kiprahnya di gerakan ekumenis Indonesia dan dunia.
Kisah itu kemudian berkelindan dengan cerita SAE menjadi pendeta lalu menjadi pemimpin gereja di masa Orde Baru hingga jelang reformasi.
Tak hanya bercerita pengalaman, ide dan pemikiran SAE soal peran gereja bagi kehidupan sosial masyarakat, terutama suara keadilan dan perdamaian juga tersebar di banyak bagian buku ini. Hal yang masih relevan untuk didiskusikan oleh gereja maupun masyarakat demokratis Indonesia.
Peran gereja di kehidupan sosial masyarakat, pentingnya menjunjung kesetaraan dan keadilan dalam upaya perdamaian dan hubungan antar agama serta pelibatan kaum muda dan perempuan adalah contoh-contoh pemikirannya yang terbuka untuk didiskusikan.
SAE sebenarnya bukan tipe yang suka mengungkap banyak hal personal. Orang-orang terdekatnya bahkan mengaku kaget saat menemui beberapa rincian di buku ini yang tidak mereka ketahui sebelumnya.
Buku ini sendiri telah dicobatuliskan bertahun-tahun sebelumnya. Bahkan draft buku sudah selesai sejak dua tahun lalu. Namun, SAE selalu ragu terkait kegunaannya. Dorongan dari orang terdekatnyalah yang meneguhkan pendeta kelahiran Tarutung 24 Mei 1933 ini untuk menuntaskan dan mempublikasikan Selagi Masih Siang.
SAE mengakui ia berutang terhadap keluarga, teman-teman, dan semua yang pernah berinteraksi sepanjang hidup pelayanannya. Tak sedikit pula yang masih bertanya alasan di balik sejumlah peristiwa di tubuh HKBP juga peran gereja di era Orde Baru dan jelang reformasi. Buku ini memberikan semacam pertanggungjawaban atas hidup dan kepercayaan yang telah Tuhan berikan pada SAE.
Secara khusus lulusan studi teologia Universitas Heidelberg, Jerman ini menyasar generasi muda.
“Waktu saya muda, tidak banyak bimbingan yang saya terima. Sejak itu saya punya tekad, selama saya masih hidup saya akan coba memberi bahan, dorongan dan semangat pada angkatan muda – tanpa harus mengatur – supaya mereka mampu mengemban tugas panggilan bagi zamannya,” ungkap SAE soal siapa yang paling ingin ia jumpai dalam dialog kritis dari wacana di buku ini.
Setiap generasi memang punya tantangan zamannya tersendiri. Selagi Masih Siang, lewat kekayaan pengalaman dan kedalaman pemikiran di dalamnya, boleh dianggap sebagai warisan yang bisa terus segar diperbincangkan.