Skip to content →

Pdt. SAE: Keadilan Mendahului Perdamaian

Di ujung tahun 1964, digelar sidang kaum muda Kristen se-Asia, Asian Christian Youth Assembly (ACYA). Pdt. SAE Nababan, yang saat itu merupakan sekretaris pemuda di Dewan Gereja Asia, adalah salah satu penggagasnya.

Ia mengingat betul nas kunci dalam pembahasan selama ACYA tersebut adalah Mikha 6:8: ”Hai manusia, telah diberitakan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?

SAE mencatatnya dalam buku Selagi Masih Siang, kesempatan tukar pikiran kaum muda Kristiani di Asia ini kemudian menelurkan ide dan adu wacana yang menarik.

Delegasi dari negara yang berjuang mengatasi kemiskinan dan yang baru merdeka, mengemukakan perlunya gereja berpartisipasi memperjuangkan keadilan di negeri masing-masing dan antarbangsa.

SAE menghargai semangat itu sembari mengingatkan bahwa kemiskinan yang diderita Asia bukan hanya karena kemalasan, sebagaimana selama ini digembar-gemborkan, melainkan juga karena tidak adanya keadilan dalam sistem dan struktur kehidupan antarbangsa.

Kemiskinan yang diakibatkan dan ditinggalkan kolonialisme berlanjut karena sistem dan struktur hubungan antarbangsa masih diatur aturan-aturan yang sama di masa kolonialisme. Negara-negara maju menjadi kaya bukan karena mereka lebih banyak diberkati Allah, melainkan karena ketidakadilan yang terus dilanggengkan.

Peserta dari negara-negara maju seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru lebih cenderung membahas soal perdamaian dan tidak terlalu suka mendengar argumentasi, seperti itu,” kenang SAE.

Hal serupa kemudian juga ia temui dalam banyak momen persidangan Dewan Gereja Dunia (WCC), terutama para peserta dari Eropa Barat dan Amerika Utara. Mereka mempertahankan pendapat bahwa orang Kristen terpanggil lebih dahulu menghadirkan perdamaian dan barulah setelah itu keadilan.

Baca juga:  Darimana Hitungannya HKBP Sudah lebih 150 Tahun?

Waktu itu mereka belum menyadari adalah tidak mungkin ada perdamaian selama belum ada keadilan,” lanjut SAE. “Pengalaman di Asia bahwa jika perdamaian duluan, maka boleh jadi itu suatu penipuan. Perdamaian yang hanya di permukaan, artifisial dan dangkal. Biasanya ditimpakan pemimpin otoriter untuk menutupi ketidakadilan, penindasan, dan pelanggaran HAM, serta mengabadikan status quo.

Siapa sangka akhirnya ide-ide yang dirangkum dalam pertemuan ACYA itu, ternyata terus bergulir. Saat terlibat di pertemuan Dewan Gereja Dunia di masa-masa berikutnya. SAE dan para pemimpin gereja Asia tetap menekankan pentingnya keadilan mendahului perdamaian.

Rumusan perjuangan gereja yang diserukan WCC di tahun 1983 memang akhirnya mengadopsi apa yang diusung SAE dan rekan-rekan dari gereja Asia. Yaitu gereja terpanggil untuk mengupayakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Dengan keadilan ditempatkan di urutan pertama.

Bagikan

Published in Tulisan