“Kami sudah siap-siap seandainya Ompung tergelincir atau kelelahan. Tapi Ompung sepertinya punya resep mujarab, karena sesekali Ompung makan sesuatu dari kantong kain…”
Demikian salah seorang pendeta muda berkomentar. Pdt. SAE Nababan tertawa mendengar komentar itu. Ia kemudian memberi tahu resep rahasianya: potongan-potongan kelapa, dimakannya hampir setiap satu jam.
“Kelapa itu sangat berguna, sehingga kita dapat terus berjalan tanpa minum atau makan,” ungkap SAE waktu itu.
Ia mengaku mempelajari hal tersebut dari novel autobiografis Pappillon, karya Henri Charrière, yang menceritakan dua orang tahanan pelarian yang dapat hidup berminggu-minggu hanya dengan memakan kelapa.
“Cuma, saya menyesal, mengapa saya tidak memberitahukan itu sebelumnya kepada semua peserta,” kenangnya di Buku Selagi Masih Siang.
Cerita ini adalah kisah masa-masa awal kepemimpinan Pdt. SAE sebagai Ephorus, saat itu ia telah berusia 53 tahun. SAE berinisiatif mengajak dua belas pendeta muda dan seorang pendeta senior mengunjungi Tor Honas, sebuah kampung kecil yang sebenarnya sudah masuk wilayah Tapanuli Tengah.
Tor Honas cukup jauh dari Kantor Pusat HKBP di Pearaja, Tarutung. Kampung ini pun belum pernah dikunjungi pimpinan HKBP sebelumnya. Untuk mencapainya, para pendeta tersebut berjalan kaki sepanjang hari dengan mendaki lima bukit, yang setiap kali semakin tinggi.
Sebenarnya tempat itu bisa juga dicapai dengan kendaraan yang memutar jauh lewat Sibolga, ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah. Akan tetapi SAE sengaja memilih jalur untuk pejalan kaki, sebab inilah jalan setapak yang dilewati oleh warga yang kebanyakan anggota jemaat HKBP.
Di jalan kecil itu, anak-anak setiap hari turun ke tepi jalan raya supaya dapat sekolah dan sekali seminggu naik ke kampung di gunung mengambil belanja. Jalan ini jugalah yang ditempuh penduduk untuk berbelanja atau menjual hasil pertanian ke Pasar Tarutung sekali seminggu.
Pengalaman ini memang dilakukan dengan sengaja agar para pendeta muda menyadari bahwa wajah sederhana jemaat di pedalaman ini adalah juga wajah HKBP.
“Perjalanan itu untuk mengingatkan kita semua bahwa masih banyak jemaat yang sulit dijangkau, bahkan harus dengan jalan kaki berjam-jam,” ungkap SAE.
Momen itu amat bertuah. Antusiasme warga jemaat Tor Honas begitu tinggi. Mungkin karena kali pertama pimpinan HKBP dan sekian banyak pendeta mengunjungi mereka. Demikian pula para pendeta yang datang, mereka benar-benar merasakan hakikat pelayanan dan kompleksitas jemaat HKBP.
Dalam beberapa kesempatan program ini sempat diteruskan beberapa kali, bahkan menjadi salah satu menu wajib untuk pembinaan calon pendeta.