Saat Pdt. SAE Nababan menjabat sebagai Ephorus HKBP (1987), izin operasional PT Inti Indorayon Utama telah terbit (belakangan menjadi PT. Toba Pulp Lestari). Perusahaan pulp kertas pertama dan terbesar di Indonesia itu kemudian beroperasi di sekitar Toba, yang ketika itu ada dalam lingkup wilayah Kabupaten Tapanuli Utara.
Bagi Pdt. SAE, pembangunan Indorayon seharusnya mengingatkan dan menyadarkan bahwa HKBP telah berada di tengah zaman industrialisasi. Zaman yang sebenarnya bahkan sudah dimulai sejak Proyek Asahan di awal tahun 1960-an. Lewat ini, gereja perlu semakin sadar memahami tantangan industrialisasi – baik kemajuan yang ditawarkan maupun dampak buruk yang mungkin muncul.
“Tadinya, saya mengatakan HKBP sudah ketinggalan zaman 30–40 tahun, sebuah ungkapan yang kurang disukai,” tulis SAE dalam Selagi Masih Siang. Namun dalam menanggapi permasalahan Indorayon ketertinggalan itu memang benar-benar ditantang.
Tak lama selepas berdirinya perusahaan, berbagai kritik terhadap Indorayon bermunculan. Terutama dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli masalah keadilan dan lingkungan hidup. Di waktu bersamaan, pembangunan Indorayon sangat disetujui dan didukung orang-orang Batak, terutama pejabat eksekutif dan legislatif di Jakarta dan Medan.
Saat itu HKBP mulai menjalankan peran mendengar suara masyarakat dan menyerukannya. “Salah satu yang paling awal memberitahukan saya mengenai pencemaran air dan udara adalah Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM),” kenang Pdt. SAE
KSPPM digawangi pendeta dan kaum muda dari berbagai gereja di Sumatra Utara, yang peduli terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat. Mereka menentang perusakan dan pembabatan hutan, yang mengakibatkan longsor dan banjir.
“Saya percaya karena mereka berintegritas. Tapi saya tetap mengirim beberapa staf untuk memeriksa situasi sebenarnya. Laporan staf bukan hanya menguatkan informasi, namun menunjukkan keadaan yang lebih parah.”
Meski penuh risiko, HKBP kemudian mencoba memfasilitasi aspirasi masyarakat. Satu yang cukup terasa adalah saat mengadakan pertemuan akbar di Sigumpar pada 29 Desember 1988, antara Muspida Taput, PT Indorayon dan sekitar 1.500 warga masyarakat. Ini kali pertama gereja di Indonesia memprakasai pertemuan antara rakyat, pelaku ekonomi besar dan pemerintah, untuk mengusahakan suasana kondusif bagi pembangunan.
Dalam perkembangannya, silaturahmi di pertemuan itu belum cukup untuk mengatasi dampak buruk keberadaan PT Indorayon. Apalagi kemudian terjadi kebocoran limbah serta tindak kekerasan pada rakyat yang mekakukan aksi protes.
“Sejak itu saya dengan tegas mendukung protes rakyat. Keberatan juga saya sampaikan kepada pemerintah, agar jangan memakai kekerasan menghadapi rakyat,” tegas SAE. Dalam beberapa aspek ini pula yang membuat posisi HKBP mulai dikategorikan ‘terlalu kritis’ oleh rezim Orba.
Meski punya banyak keterbatasan, masalah Indorayon adalah contoh paling konkret bagaimana gereja menerapkan ajarannya soal keadilan dan kelestarian lingkungan.