Skip to content →

Kisah SAE di Masa Perjuangan Kemerdekaan

Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno melakukan sejumlah kunjungan untuk menggalang dukungan dari warga. Wilayah Sumatera saat itu adalah salah satu yang paling awal dikunjungi.

Mulai 2 Juni sampai 7 Juli 1946, Bung Karno mengunjungi Bukittinggi, Tapanuli, Aceh, Pekanbaru, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Saat berkunjung ke Tapanuli, presiden menggunakan pesawat DC-3 Dakota. Bung Karno mendarat di Lapangan Terbang Silangit, dan disambut semua murid Sekolah Rakyat dan SMP dari Tapanuli Utara yang dihadirkan di Silangit.

SAE Nababan ikut dalam momen penyambutan presiden pertama Indonesia itu. Buat Soritua momen itu benar-benar membakar semangatnya. “Itu pertama kali saya mendengar Bung Karno berpidato dengan berapi-api,” kenang Pdt. SAE dalam buku Selagi Masih Siang.

Satu kalimatnya yang melekat dalam benak saya berbunyi: ‘Hai, anak-anak dan pemuda-pemuda, gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit!’ Semangat dan cinta saya pada Tanah Air pun menggelora.

Dengan semangat zaman yang seperti itu, nasionalisme di hati Soritua muda semakin membara. Duduk di bangku SMA di Tarutung, ia pun bergabung dengan Tentara Pelajar.

SAE sempat berpikir, perjuangan yang sebenarnya harus memikul senjata. Maka ia merasa agak kecewa saat menjalani tugas awalnya di Tentara Pelajar sebagai kurir. Jiwa mudanya yang ingin petualangan memanggul senjata, mendorong SAE menggabungkan diri dengan pasukan Kapten Jenggot Sitompul, yang terkenal sebagai pasukan pendobrak (stoottroep).

Entah kebetulan atau bukan, beberapa hari sebelum Belanda menyerbu Sumatera pada Desember 1948, Soritua kena malaria parah. Ia pun tidak bisa ikut bergerilya ke hutan. Namun selama masa pendudukan Belanda di Siborongborong, SAE melakukan misi yang lebih berbahaya, yaitu mencari informasi dan menyelundupkan senjata.

Baca juga:  Masalah Indorayon: Gereja Bisa Berbuat Apa bagi Lingkungan?

Teman saya dalam menyelundupkan senjata saat itu adalah Pintor Sihombing. Ia adik kandung dari Ephorus Ds. T.S. Sihombing. Kami pernah hampir tertangkap Belanda, di satu malam yang hujan,” lanjut Pdt. SAE.

Meski demikian, SAE akhirnya melihat sendiri bagaimana pertikaian antar laskar dan tentara pejuang kemerdekaan terjadi. “Ini menyadarkan saya bahwa sebenarnya rakyatlah yang lebih banyak berkorban, memberikan segala yang dibutuhkan tentara dan pejuang,” ujar SAE.

Hal itulah yang membuatnya tidak lagi tertarik untuk bergabung dengan tentara, sekalipun ada perekrutan selepas masa revolusi fisik.

Bagikan

Published in Obituari