Skip to content →

Sempat Ganti Nama: Kenangan SAE Nababan di HKBP Kernolong

Untuk membuka komunikasi dengan pemuda-pemudi Batak kelahiran Jakarta, saya memakai nama panggilan ‘Albert’ sebagai ganti ‘Tua’ (dari Soritua), yang sejak kecil sampai ke Jakarta menjadi nama panggilan saya.

Demikian Pdt. SAE Nababan mengisahkan pengalamannya bergereja di HKBP Jalan Kernolong Jakarta (saat ini Jalan Kramat IV, Jakarta Pusat). Gereja ini adalah HKBP pertama di Jakarta, juga merupakan jemaat pertama yang berdiri di luar Pulau Sumatera. SAE mendaftarkan diri menjadi jemaat di gereja ini saat ia mulai studi teologi di Jakarta.

Upaya ‘ganti nama’ itu adalah salah satu jalan yang dipikirkan SAE saat melihat kesenjangan pelayanan pada generasi muda Kristen Batak yang tinggal di Jakarta. Ada kebutuhan yang dinilainya penting, namun kurang terakomodasi oleh generasi tua yang menjadi pelayan gereja. Salah satu yang paling menonjol adalah kendala bahasa dan budaya.

HKBP Kernolong memang lahir dari kerinduan para perantau Batak, yang mulai banyak tinggal di Jakarta sejak 1920-an, untuk beribadah dalam Bahasa Batak. Generasi seperti Guru F. Harahap, Guru S. Hasibuan, Sutan Harahap, juga novelis Merari Siregar, adalah jemaat paling awal yang terlibat dalam perintisan ini. Sejak 1932, gereja ini telah memiliki gedung kebaktian sendiri.

Namun, di tahun 1950 generasi anak-anak mereka sudah memiliki tantangan berbeda. Para pemuda kelahiran Jakarta ini sudah tidak terlalu lancar berbahasa Batak. Apa yang menjadi minat pelayanan mereka pun tidak lagi sekedar kebaktian di gereja.

Saat menjadi pengurus Naposo di HKBP Kernolong, SAE bersama rekan-rekannya memprakarsai dua hal yang cukup memberi dampak bagi pengembangan pelayanan pemuda di gereja ini, yaitu kebaktian pemuda berbahasa Indonesia dan kebaktian subuh Paskah.

Baca juga:  In Memoriam Pdt. Dr. SAE Nababan, LID

Kebaktian pemuda saat itu bukan sekedar mengganti liturgi dengan bahasa Indonesia. Namun, para pelayannya pun sepenuhnya kaum muda. Sehingga semangat dan perspektif kaum muda benar-benar disasar oleh khotbahnya. Ini yang kemudian membuat banyak sekali kaum muda kembali mengikuti kebaktian di HKBP.

Sayang, dalam perkembangan di tahun-tahun berikutnya, kebijakan itu berubah menjadi sekedar kebaktian berbahasa Indonesia, karena aturan bahwa pelayan kebaktian haruslah orang yang tertahbis. Namun, jelas sekali ini memberi dampak, karena pertama kalinya di HKBP gereja melayankan kebaktian dalam bahasa Indonesia.

Momen kebaktian subuh juga adalah contoh lain. Saat diselenggarakan pertama kali di tahun 1954, cukup banyak kaum muda dan dewasa yang ikut. Ini adalah cikal-bakal banyak gereja HKBP di Jakarta hingga kini masih menjalankan kebaktian subuh Paskah.

Bagikan

Published in Obituari