Skip to content →

Rekan Kuliah SAE Nababan di Sekolah Teologi Jakarta

Hoogere Theologische School (HThS) adalah sekolah tinggi teologi pertama di Indonesia. Awalnya sekolah ini didirikan di Bogor oleh badan-badan Pekabaran Injil dari Eropa yang bekerja di Hindia Belanda pada tanggal 9 Agustus 1934. Pada masa-masa awal pendiriannya, semua dosennya berasal dari Eropa, terutama Belanda, Jerman, dan Swiss.

Di kalangan HKBP, HThS dikenal sebagai Sekolah Domine, karena menghasilkan pendeta-pendeta yang setara dengan pendeta Belanda yang memang disapa sebagai Dominee atau Ds. Bahkan, sempat beberapa waktu penahbisan para Dominee ini ada liturgi khususnya yang berbeda dengan penahbisan pendeta.

Soritua masuk ke HThS di tahun 1950. Di masa itu, pengelolaan HThS sudah mulai dikerjakan gereja-gereja di Indonesia yang tergabung dalam Dewan Gereja-gereja se-Indonesia (DGI). Lokasinya sempat berpindah dari Bogor ke Jalan Salemba Jakarta, kemudian di rumah mantan konsul jenderal Zending di Jalang Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi).

Siapa saja rekan seangkatan Pdt. SAE Nababan di sekolah teologi yang kini bernama STFT Jakarta itu?

Dalam catatannya di Selagi Masih Siang, Pdt. SAE menyebut ada delapan orang utusan HKBP yang menjadi rekan seangkatannya, termasuk Margaretha Purba yang merupakan perempuan pertama yang diutus HKBP untuk sekolah teologi. Sayang, Margaretha kemudian memilih tidak menamatkan studi teologinya.

Mahasiswa asal HKBP saat itu hadir dalam proporsi cukup besar. Lebih dari setengah keseluruhan mahasiswa HThS angkatan 1950 yang hanya berjumlah 15 orang. Utusan HKBP lain termasuk tokoh seperti Pdt. Sutan Marpaung (pernah menjabat sebagai salah satu praeses HKBP), Pdt. Mauliate Sitompul (pernah menjadi dosen STT HKBP dan staf di DGI), Pdt. Walter Bonar Sijabat (dosen STT Jakarta) dan Pdt. Lesman Purba (belakangan menjadi Ephorus GKPS, setelah gereja ini didewasakan dari HKBP).

Baca juga:  Kisah SAE di Masa Perjuangan Kemerdekaan

HThS ternyata tidak sekedar menjadi sarana untuk meluluskan para pendeta. Lewat atmosfir saat itu sekolah ini pun menjadi wadah persemaian ide-ide ekumenis di Indonesia.

Ini terlihat dari ketokohan rekan seangkatan SAE dari gereja lain seperti Fridolin Ukur, utusan GKE, seorang teolog sekaligus sastrawan Indonesia. Pdt. Ietje Angkuw (GPIB, istri dari Laksamana John Lie) yang cukup lama melayani di Rumah Sakit PGI Cikini. Demikian pula Pdt. Liem Khiem Yang, dari Gereja Pentakosta yang kelak menjadi dosen di STT Jakarta, juga Pdt. Kwee Tiong Bien dari GKI Jawa Timur.

Mereka juga sering berdiskusi intens dengan senior seperti Pdt. Sutan Hutagalung dan Dr. Ihromi (teolog kenamaan Indonesia dari GKP), juga Ds. Clement Lee Sian Hoei (belakangan: Pdt. Clement Suleeman, tokoh penting di balik penyatuan GKI, yang juga ayah dan mertua dari beberapa teolog kenamaan Indonesia).

Di banyak kesempatan, Pdt. SAE mengakui, banyak ide untuk gerakan ekumenis yang dialaminya saat berjumpa rekan pengerja dari berbagai gereja lain di Indonesia.

Bagikan

Published in Buku