“Jangan membunuh!” Itu adalah salah satu dari titah yang disampaikan langsung oleh Allah kepada bangsa Israel.
Pembunuhan itu kejam. Baik itu terjadi di masa lalu, maupun di masa kini. Para pelaku pembunuhan, siapapun dia, adalah orang yang kejam. Pembunuhan tetap kejam, entah dilakukan dimana saja, dengan cara apapun juga.
Maka dari itu kemanusiaan menolak pembunuhan. Agama-agama menolak pembunuhan. Para leluhur kita, sekalipun belum mengenal kekristenan atau agama besar lain, sudah melarang atau setidaknya memberikan batasan terhadap pembunuhan. Tidak boleh begitu saja membunuh orang lain. Tidak boleh sewenang-wenang membunuh.
Hal itu pun diterapkan di manusia beragama masa kini. Bagi kita umat Kristen, kita mengenalnya sebagai titah keenam. Di semua bangsa yang beradab dan mengembangkan budaya luhur, tidak ada yang membiarkan pembunuhan, di manapun dengan cara apapun juga oleh siapapun.
Kalau titah Allah menyeru: “Jangan engkau membunuh,” titah keenam, ini menegaskan maksud Allah yang mencintai hidup. Adalah kerinduan Allah, agar manusia itu hidup. Bayangkanlah jika tidak ada titah ini. Mungkin saja kita tidak akan mungkin duduk bersama disini.
Kalau kita bebas membunuh, begitu hati tersinggung sedikit pada rekan, kita bisa saja saling bunuh. Suami membunuh istri, istri membunuh suami, orang tua membunuh anak, atau anak pun membunuh orang tua. Manusia mungkin akan punah.
Akan tetapi, Allah yang kita sembah adalah Allah yang mencintai hidup. Biar bagaimanapun keadaan manusia, Ia tetap memberikan matahari menyinari – sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus – baik bagi orang jahat dan yang buruk hati, Allah tetap membiarkan mereka hidup. Itulah gambaran betapa berharganya kehidupan.
Maka dari itu orang yang membunuh bersalah terlebih dahulu kepada Tuhan. Bukan sekedar kepada yang terbunuh atau kepada pengadilan. Semua pembunuh bersalah terlebih dahulu kepada Tuhan. Rasanya, kalau sudah bersalah pada Allah, ia berurusan dengan Allah. Sekalipun ia mungkin lolos dari hukuman dunia, ia tak mungkin lepas dari tangan Allah. Ini urusan Allah, kita tidak perlu lagi mengkhawatirkannya.
Saat saya mengkhotbahkan hal ini, ada seorang pemuda langsung berkomentar: “Pak Pendeta, kita harus tetap realisitis. Mengapa? Karena kita ini masih manusia.”
Benar. Kita memang masih manusia. Jika terjadi pembunuhan dan kematian. Ada tiga hal yang mungkin timbul di dalam hati manusia.
Yang pertama, pada yang ditinggalkan akan muncul kesedihan. Dan jangan lupa, di hati pembunuh pun akan muncul ketakutan. Rasanya tidak ada seorang manusia normal yang bisa merasa gembira setelah melakukan pembunuhan. Kematian itu akan selalu membayangi dan membuat sepanjang hidupnya penuh ketakutan. Sementara bagi kerabat yang kehilangan, kesedihan akan muncul karena hilangnya kebersamaan dengan orang yang dikasihi. Ini adalah perasaan yang pertama kali muncul.
Yang kedua, adalah perasaan marah. Siapa yang tidak akan marah jika ayah, saudara, suami atau anaknya dibunuh? Siapa yang tidak akan marah?
Yang ketiga adalah keinginan membalas dendam. Jika muncul rasa ingin membalas dendam ketika masa duka seperti sekarang, sering orang memunculkan pepatah lama, petuah lama, dari pikiran bawah sadar manusia. Bisa saja dikutip dari ungkapan leluhur Batak: “Mata abul ni mata, ingkon dos!” – Mata ganti mata, harus impas. Jika ayahku dibunuh, paling tidak aku harus membunuh ayahnya juga.
Biasanya jika dendam itu belum terbalas, hal itu diteruskan ke anak serta cucunya: “Ingat ya anakku, karena aku ini miskin dan lemah, aku tak bisa membalas. Tapi engkau yang harus membalasnya.”
Seperti itulah mengapa dendam bisa terus berlangsung dan melanggengkan pembunuhan demi pembunuhan. Setiap pembalasan akan menuntut pembalasan yang baru. Yang jahat terus berkembang biak.
Maka dari itu saudara sekalian, kita hendaknya tidak sekedar mengikuti kebiasaan, namun kembali kepada Allah. Tuhan Yesus menyampaikan pada mereka yang punya pikiran seperti ini. Dalam khotbah dibukit, Ia menyerukan:
“Kamu telah mendengar firman: ‘Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.’ Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu.”
Jangan melawan yang berbuat jahat. Jangan membalasnya. Jika engkau membalas, maka engkau mendatangkan kejahatan. Sebab jika aku membunuh seorang manusia, karena semangat pembalasan, maka aku menjadi serupa dengan yang membunuh. Aku telah menjadi pembunuh.
Jadi Yesus menyeru: Stop! Jika Anda percaya pada Yesus, maka: Stop!
(Dikutip dan Diterjemahkan dari Khotbah Kebaktian Kebangunan Rohani/Penghiburan bagi Keluarga Korban Kekerasan Minggu, 6 September 1998, Narumonda, Tapanuli Utara)