Skip to content →

Sepenggal Kisah SAE di Kottayam: Bertemu “Penjajah” yang Canggung

Boleh dikatakan pengalaman ekumenis internasional pertama Pdt. SAE Nababan adalah saat ia berangkat ke Kottayam, India. Saat itu ia mengikuti Konferensi Ketiga Pemuda Kristen Sedunia III (Third World Christian Youth Conference).

Acara tersebut diadakan pada Desember 1952 – Januari 1953. SAE hadir bersama tiga belas utusan lain dari Indonesia, baik mahasiswa teologi seperti Ihromi dan Fridolin Ukur, maupun alumnus STT Jakarta yang telah menjadi pendeta seperti Pdt. Clement Lee Sian Hoei dan para pengerja lembaga Kristen seperti Ny. Liem Siet Nio. Saat itu SAE masih berumur 19 tahun dan menjadi anggota delegasi termuda.

Dalam Selagi Masih Siang, SAE bercerita tentang sejumlah momen yang begitu membekas dan mempengaruhi perjalanan ekumenisnya kemudian. Cerita mengenai kakunya hubungan antar gereja di Sri Lanka, yang mereka lewati, kemiskinan yang begitu terasa di perkotaan India, ibadah yang begitu panjang di gereja-gereja ortodoks India, hingga kelompok-kelompok penelahaan Alkitab di konferensi tersebut yang begitu hidup dan progresif.

Namun ada satu peristiwa lain yang juga begitu berdampak, bagi dirinya, juga bagi hampir seluruh delegasi dari Indonesia.

Sejak awal konferensi, kami yang dari Indonesia merasakan bahwa anggota delegasi Belanda dan Jepang bersikap canggung bila bertemu kami,” catat SAE. “Mungkin mereka bersikap hati-hati untuk tidak menyinggung perasaan kami, karena dua negara tersebut pernah menjajah Indonesia.

Untuk mencairkan hubungan dengan delegasi Jepang dan Belanda, SAE dan rekan-rekan delegasi Indonesia memprakarsai pertemuan dua pihak. Antara delegasi Indonesia dan Belanda, serta pertemuan delegasi Indonesia dan Jepang, secara terpisah.

Dalam pertemuan delegasi Indonesia-Belanda, kami menuntut untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sekalipun semua anggota delegasi Indonesia fasih berbahasa Belanda,” ungkap SAE.

Baca juga:  Agar Khotbah Tidak Bikin Ngantuk

Penggunaan bahasa Inggris ini sengaja dipilih agar masing-masing delegasi menyadari berada dalam kedudukan yang sama, sama rasa – sama rata. Cara ini memang menolong, karena dengan demikian masing-masing utusan harus berpikir dan berbicara dalam bahasa asing.

Dalam kedua pertemuan terpisah tersebut, delegasi Indonesia secara terbuka dapat mengeluarkan unek-unek, pahitnya pengalaman hidup di bawah penjajahan. Akan tetapi, di akhir setiap pertemuan, mereka berkomitmen untuk berdoa bersama dan bersalaman. Dengan demikian, tidak ada lagi dendam, setidaknya di antara para delegasi ini yang sudah bertemu sebagai angkatan muda. Semua memposisikan diri sebagai yang setara, tidak lagi antara ‘penjajah’ dan ‘terjajah’.

Terobosan seperti ini sebenarnya memungkinkan relasi dan kerjasama lebih jauh. Di waktu-waktu berikutnya hubungan antar gereja Indonesia dengan gereja di Belanda dan Jepang juga terjalin baik serta terlibat dalam sejumlah kerjasama.

Bagikan

Published in Buku