Parameter yang sering digunakan untuk menandai proses gerakan ekumenis di Indonesia adalah berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada tahun 1950. Lembaga yang kini bernama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ini, sering diidentikkan dengan keseluruhan gerakan ekumenis di Indonesia.
Pemaknaan demikian sebenarnya tidak terlalu tepat. Pertama, jika melihat kenyataaan saat ini, kinerja ekumenis PGI, terutama dalam beberapa waktu terakhir, mungkin dianggap kurang oleh sejumlah pelayan dan pimpinan gereja. Demikian pula, kita kini melihat sejumlah wadah persekutuan gereja lain di Indonesia.
Meski demikian, adalah benar jika PGI masih memiliki peran kuat dan signifikan dalam gerakan ekumenis. Ia masih dianggap sebagai ‘pembawa bendera’ gerakan ekumenis di negeri ini. Setidaknya sampai 1980-1990-an ia dianggap sebagai perwakilan Gereja-gereja Protestan baik saat berinteraksi dengan pemerintah maupun gerakan lintas iman.
Namun, ada keberatan yang lebih argumentatif terkait awal mula gerakan ekumenis di Indonesia. Jika menelusur sejarah lebih jauh, kita mesti menyadari bahwa perkembangan gerakan ekumenis di Indonesia adalah juga bagian dari gerakan internasional yang melibatkan beragam ekspresi dan pemahaman ekumenis.
Maka aspek sejarah global, terutama terkait organisasi dan konferensi misi yang menginisiasi gerakan ekumenis sedunia, tidak bisa dilupakan saat membahas perkembangan tadi. Gerakan ini pun turut dipengaruhi realitas ideologi dan politik semisal menguatnya gerakan nasionalisme di negara-negara yang mengalami penjajahan. Ini sangat mempengaruhi posisi gereja-gereja satu sama lain. Situasi sosial-politik di Indonesia sendiri pun sedikit banyak menggambarkan hal itu.
Uniknya, keberadaan gereja-gereja di Indonesia seringkali sudah ekumenis sejak badan misi yang merintisnya. Di wilayah Sumatera misalnya, RMG yang merintis sejumlah gereja adalah badan misi dengan latar teologis Lutheran, Calvinis serta gerakan Pietis. Di Kalimantan karya misi RMG itu kemudian digantikan oleh Zending Basel, yang lebih bercorak Calvinis.
Indische Kerk, yang merupakan gereja bentukan pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-19 bahkan tidak memiliki konfesi doktrinal, yang menandakan ia merupakan wadah yang menampung sejumlah tradisi Protestan.
Lebih jauh, sejak 1850-an semakin banyak lembaga misi dari beragam denominasi, termasuk Metodis dan Baptis, yang berkarya di Indonesia. Kerjasama antar lembaga misi ini kemudian terwujud lewat buletin misi bulanan Opwekker. Awalnya penerbitan buletin ini dikelola oleh GIUZ, namun kemudian ditangani oleh badan baru yang menampung beragam lembaga misi di Hindia Belanda, yaitu NIZB.
Kerja sama yang lebih terasa adalah terkait menyiapkan para pengerja lokal. Tahun 1869, J.A Schuurman, pelayan misi di Batavia menerbitkan artikel yang mengajak umat Kristen di Hindia Belanda bekerja sama dalam membangun seminari. Ajakan itu direspon oleh banyak lembaga misi, hingga pada 1878 berhasil dibangun seminari di Depok. Banyak lembaga misi yang mengirimkan mahasiswa dari sejumlah wilayah misi di Batak, Minahasa, Timor, Sangir Talaud, demikian pula dari berbagai wilayah di Jawa.
Lewat pembelajaran di sekolah teologi ini, kerjasama dan semangat ekumenis terbentuk. Semangat itu kemudian diekspresikan beragam saat para pelajar sekolah ini kembali ke gereja masing-masing. Meski tutup sejak 1926, semangat serupa kembali terwujud saat HThS didirikan pada 1934 di Bogor (sekarang berkembang menjadi STFT Jakarta).
Babak lain dalam rintisan gerakan ekumenis Indonesia adalah berlangsungnya sejumlah konferensi kerja sama misi, lalu pembentukan konsulat misi di Batavia. Upaya lain yang juga patut disorot adalah rintisan kemandirian gereja-gereja yang berbasis jemaat Tionghoa, juga konferensi pemuda Kristen yang membentuk gerakan pemuda Kristen di era 1930-1940-an.
Berkaca dari ragam kerjasama ekumenis itu, kita bisa sedikit banyak membenarkan bahwa gerakan ekumenis Indonesia telah berkembang sejak era paling awal terbentuknya gereja di negeri ini.
(Dikutip dari The Ecumenical Movement in Indonesia, K.A Steenbirk dan J.A Aritonang)