Skip to content →

Nasib Misionaris Pertama di Tanah Batak

Nommensen bukanlah misionaris pertama yang datang ke Batak. Bahkan sebelum sang penginjil ini lahir, Tanah Batak sudah berkali-kali dikunjungi para pemberita Injil dari Amerika dan Eropa. Para ahli bahasa dan budaya seperti van der Tuuk dan Junghun sebelumnya juga telah membantu penerjemahan Injil ke Bahasa Batak, meski mereka tidak berperan sebagai misionaris.

Sekitar 1820, Badan Misi Gereja Baptis Inggris (Baptist Mission Society) mengirimkan tiga orang pemberita Injil ke wilayah Nusantara. Masa itu merupakan peralihan kekuasaan. Selepas lima tahun pemerintahan Kerajaan Inggris di Nusantara (1811-1816), wilayah jajahan kolonial ini secara bertahap dikembalikan pada Belanda.

Sir Thomas Stamford Raflles, bangsawan Inggris, yang saat itu masih menjabat pemerintahan transisi di Bengkulu menyarankan agar tiga penginjil tersebut, berkarya di wilayah utara Sumatera. Raflles melihat di tengah tertahannya Paderi di wilayah selatan Tapanuli, ada peluang untuk Kristenisasi di wilayah utaranya.

Richard Burton dan Nathaniel Ward mengikuti saran tersebut. Mereka pun belajar budaya dan Bahasa Batak. Kemudian, tiba di Sibolga pada 1824, dan melanjutkan perjalanan dua hari ke wilayah Silindung.

Di awal, mereka sebenarnya disambut baik oleh warga Silindung. Dalam suatu pertemuan besar penduduk Silindung, kedua penginjil tersebut sempat menceritakan rumusan sepuluh perintah Allah. Penduduk Silindung memahami bahwa dasa titah itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dituntut dalam patik dan uhum Batak. Konon, kedua penginjil ini juga sempat diundang oleh Sisingamangaraja X di Bakkara.

Namun, mengapa upaya misionaris pertama Batak ini kurang berhasil? Agak sulit menemukan alasan yang pasti. Karena berkelindan dengan sejumlah peristiwa sejarah dengan catatan yang kurang lengkap dan tidak pasti.

Secara teknis, dukungan BMS terhadap para misionaris Inggris yang berkarya di Tanah Batak kemungkinan sangat minim. Apalagi selepas Traktat London 1824, pemerintahan Inggris sepenuhnya ditarik dari Sumatera.

Baca juga:  Khotbah SAE: Jangan Membunuh (2)

Namun, ada kemungkinan warga Batak memang menolak keberadaan para misionaris tersebut dengan anggapan bahwa ajaran yang mereka bawa akan merusak harmoni ikatan para raja di Tanah Batak, yang telah menghadapi ancaman Paderi.

Yang patut juga dicatat apakah saat para misionaris tiba di Silindung invasi Paderi telah sepenuhnya berakhir di tanah Batak (setelah wabah kolera 1821), atau masih berlanjut di wilayah Utara (yang dalam catatan arsip Tingki Pidari berlangsung hingga 1825 terutama Silindung, Humbang dan Toba-Holbung).

Yang jelas misi BMS Inggris tidak banyak memberi hasil. Suku Batak pun sempat agak resisten terhadap penginjil asing. Barangkali ini yang menjadi salah satu alasan mengapa misionaris berikutnya, Munson dan Lyman justru dibunuh. Kedua misionaris utusan Gereja Baptis Amerika itu tewas saat baru tiba di Lobupining. Di tahun yang sama dengan kelahiran Nommensen, 1834.

Foto: Sopo Toba

Bagikan

Published in Tulisan