“Kalau ada masalah apapun, datanglah ke Tuan Dertik. Bahkan kalau mau belajar bahasa Bali dengan benar, hanya dia yang tahu.”
Kalimat itu datang dari orang-orang di desa Buleleng, Bali Utara – tempat ahli linguistik Herman Neubronner van der Tuuk menghabiskan waktu dari tahun 1870-an hingga akhir hidupnya.
Di tempat ini van der Tuuk, yang dipanggil oleh orang Bali sebagai Tuan Dertik, tampil dengan gaya unik. Ia bersabahat dengan seniman tradisional Bali. Ikut membaur dengan masyarakat, selalu mengenakan sarung dan jarang memakai baju.
Herman van der Tuuk adalah linguis terkenal di eranya. Ia juga penuh kontroversi, tak jarang beradu polemik, bahkan menyerang secara personal. Ia mengerjakan sejumlah karya untuk Bahasa Kawi (Jawa Kuno), Bali, Sunda, Tamil, Melayu, Lampung, Dayak dan juga Batak. Bahkan untuk bahasa Batak Toba, van der Tuuk menyusun kamus lengkap dan kamus tata bahasa pertama.
**
Herman lahir di Malaka, pada 23 Februari 1824, saat wilayah itu masih dikuasai oleh Belanda. Ayahnya seorang pengacara berkebangsaan Belanda, sementara ibunya berdarah campuran Jerman-Melayu. Ia berkulit agak kuning dan mata sipit, tidak seperti potret orang Eropa kebanyakan. Saat Malaka dikuasai Inggris, keluarga van der Tuuk pindah ke Surabaya.
Seusai menempuh pendidikan dasar, Herman melanjutkan sekolah ke Belanda. Di usia 16 tahun (1840) ia masuk Universitas Groningen untuk studi ilmu hukum. Namun ia ternyata lebih berminat mempelajari linguistik. Tahun 1845 ia pindah ke Universitas Leiden.
Di Leiden kecemerlangan van der Tuuk terlihat. Bakatnya yang sudah mulai dikenal para linguis sejak ia masih menempuh studi hukum, semakin terasah lewat bimbingan Dr. Th.W. Juynboll, linguis kenamaan Eropa.
Bakat ini menarik minat lembaga Alkitab Belanda (Nederlands Bijbel Genootschap, NGB). Saat itu NGB memang membutuhkan penerjemah Alkitab untuk bahasa-bahasa di Nusantara. Tahun 1847, van der Tuuk menandatangani kontrak dengan NGB. Ia ditugaskan untuk menyusun kamus Bahasa Batak beserta tata bahasanya, juga menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Batak.
Ia sebenarnya kurang menyukai tugas yang kedua. Meski besar sebagai seorang Kristen, Herman bukanlah orang yang punya minat religius. Namun, karena tawaran gaji yang cukup tinggi serta beroleh kesempatan untuk menjumpai keluarganya di Surabaya, van der Tuuk menerima tugas itu.
Herman menghabiskan waktu cukup lama di Jawa dan pesisir Sumatera, untuk melancarkan bahasa Melayu serta mempelajari dialek Batak di Barus, sebelum akhirnya ia datang langsung ke Tapanuli Utara pada 1853. Herman mengunjungi Bakkara dan Danau Toba, serta wilayah pedalaman yang jarang dimasuki orang Eropa aktu itu.
Ia langsung akrab dengan masyarakat setempat yang menyebutnya sebagai Tuan Pandortuk. Pandortuk ini menjamu siapa saja yang datang menemuinya, ia juga bercengkrama dengan para datu. Ini membuatnya beroleh kesempatan melihat sejumlah pustaha Batak milik para datu, terutama terkait mantra doa, turi-turian (riwayat) dan ramuan-ramuan.
Kedekatannya dengan masyarakat ini melahirkan sikap kritisnya pada Zending Belanda. Pandortuk berkali-kali memprotes penggunaan bahasa Melayu para misionaris serta ketidakberanian mereka untuk langsung datang dan tinggal bersama masyarakat Batak. Ia beranggapan penerjemahan Alkitab ke bahasa Batak, baru bisa dilakukan setelah masyarakat ini bersentuhan langsung dengan kekristenan.
Meski dengan enggan dan sempat tertunda, Pandortuk mengerjakan tugas dengan baik. Tahun 1857 ia mengambil cuti ke Belanda dengan membawa 152 pustaha dan 29 manuskrip bahasa untuk diolah.
Ia kemudian menerbitkan publikasi terkait bahasa Batak, yaitu Kamus Batak-Belanda dan Tata Bahasa Batak. Ia memetakan dan menyederhanakan aksara Batak dalam karyanya Bataksch Leesbook, dimana ia membagi sistem aksara Batak dalam tiga set kelompok berdasarkan sub-etnisnya. Ia pun menyelesaikan terjemahan Alkitab untuk Kitab Kejadian, Keluaran, Injil Lukas dan Injil Yohanes.
Karya-karya inilah yang kemudian dibaca oleh publik Eropa, termasuk Nommensen dan para penginjil RMG.
Selepas tugas besar itu, van der Tuuk melanjutkan petualangan linguistiknya. Ia kembali ke Nusantara untuk meneliti sejumlah bahasa daerah. Sebelum akhirnya menetap di Bali dan menghasilkan karya akbar lainnya: Kamus Tribahasa Belanda-Kawi-Bali.
Foto: KITLV